Saat siang ku telusuri jalan, tertunduk malu dalam kesendirian. Bak menghitung bebatuan yang terinjak, sesekali aku mendongak keatas, kupandangi langit biru polos, tanpa segumpal hiasan awan. Kuibaratkan hatiku yang tetap berusaha tulus saat ia tak ada di sisi. Kubiarkan kupingku mendengar ejekan pepohonan yang berjajar, menghardik wajahku yang penuh kesuraman, memaki hatiku yang penuh penantian.
Namun…
Saat malam merambat jagad tak jua ku rasa sorakan daun yang melambai ibarat tangannya yang kurasa hanyalah kesepian dan kedinginan hmm… Dunia serasa berubah, akupun terlelap setelah menyebut namanya. Dan hadirlah kata ia dalam hiasan tidur yang disebut mimpi.
Hingga…
Pagi menjelang, kudengarkan lagu yang bukanlah lagunya, melainkan kicauan burung yang menyambut mentari. Akupun terbangun bangkit dari khayalan mimpi diwaktu malam. Kulalui terbitnya di ufuk timur dengan menanti hingga tenggelam di ufuk barat. Inilah hari-hariku tanpanya…
Sabtu, 22 Agustus 2009
Jumat, 21 Agustus 2009
sampai maut memisahkan kita
Banyak pasangan kekasih bersumpah akan selalu bersama selamanya, sepanjang
hayat maupun ketika menghadapi maut, tetapi aku belum pernah mendengar
kesetiaan dan pengabdian yang dapat dibandingkan dengan kesetiaan dan
pengabdian Bu Isidor Straus.
Tahun 1912. Bu Straus dan suaminya naik Titanic dalam pelayaran perdananya
yang membawa maut itu. Tak banyak wanita yang tenggelam bersama kapal itu,
tetapi Bu Straus adalah satu dari sedikit wanita yang tidak selamat karena
alasan sederhana: Dia tidak tega meninggalkan suaminya. Beginilah Mabel
Bird, pelayan Bu Straus, yang selamat dari kecelakaan itu, bercerita
setelah dia diselamatkan.
"Ketika Titanic mulai tenggelam, wanita-wanita yang panik dan anak-anak
adalah yang pertama-tama dipindahkan ke sekoci. Pak dan Bu Straus tampak
tenang dan menghibur para penumpang, mereka bahkan menolong orang-orang
naik ke sekoci.
"Kalau tidak karena mereka," kata Mabel, "aku pasti tenggelam. Aku orang
keempat yang naik ke sekoci kelima. Bu Straus menyuruhku naik, lalu
menyelimuti dengan selimut hangat."
Kemudian, Pak Straus menyuruh istrinya naik menyusul pelayannya dan
orang-orang lain. Bu Straus beranjak hendak naik. Satu kakinya sudah
berada di dalam sekoci, tetapi tiba-tiba dia berubah pikiran, dia berbalik
lalu melangkah kembali ke kapal yang sedang tenggelam.
"Sayangku, naiklah ke sekoci!" suaminya memohon.
Bu Straus lekat-lekat menatap mata pria dengan siapa dia menghabiskan
sebagian besar hidupnya, pria yang menjadi sahabat karibnya, belahan
jiwanya yang sejati, dan yang selalu memberikan penghiburan baginya. Dia
meraih tangan suaminya dan mendekapkan tubuh Pak Straus yang gemetar ke
dadanya.
"Tidak," kata Bu Straus dengan gagah, seperti kemudian diceritakan orang.
"Aku tidak akan naik sekoci. Kita sudah bersama-sama selama
bertahun-tahun. Kita sudah tua sekarang. Aku tidak akan meninggalkanmu. Ke
mana pun engkau pergi, aku ikut."
Dan begitulah mereka terlihat untuk terakhir kalinya, berdiri berpelukan
di geladak: wanita yang penuh pengabdian itu dengan mantap berlindung
dalam pelukan suaminya, sementara suaminya dengan penuh cinta memeluk dan
melindunginya. Perlahan-lahan kapal tenggelam semakin dalam. Selalu
bersama... untuk selamanya....
hayat maupun ketika menghadapi maut, tetapi aku belum pernah mendengar
kesetiaan dan pengabdian yang dapat dibandingkan dengan kesetiaan dan
pengabdian Bu Isidor Straus.
Tahun 1912. Bu Straus dan suaminya naik Titanic dalam pelayaran perdananya
yang membawa maut itu. Tak banyak wanita yang tenggelam bersama kapal itu,
tetapi Bu Straus adalah satu dari sedikit wanita yang tidak selamat karena
alasan sederhana: Dia tidak tega meninggalkan suaminya. Beginilah Mabel
Bird, pelayan Bu Straus, yang selamat dari kecelakaan itu, bercerita
setelah dia diselamatkan.
"Ketika Titanic mulai tenggelam, wanita-wanita yang panik dan anak-anak
adalah yang pertama-tama dipindahkan ke sekoci. Pak dan Bu Straus tampak
tenang dan menghibur para penumpang, mereka bahkan menolong orang-orang
naik ke sekoci.
"Kalau tidak karena mereka," kata Mabel, "aku pasti tenggelam. Aku orang
keempat yang naik ke sekoci kelima. Bu Straus menyuruhku naik, lalu
menyelimuti dengan selimut hangat."
Kemudian, Pak Straus menyuruh istrinya naik menyusul pelayannya dan
orang-orang lain. Bu Straus beranjak hendak naik. Satu kakinya sudah
berada di dalam sekoci, tetapi tiba-tiba dia berubah pikiran, dia berbalik
lalu melangkah kembali ke kapal yang sedang tenggelam.
"Sayangku, naiklah ke sekoci!" suaminya memohon.
Bu Straus lekat-lekat menatap mata pria dengan siapa dia menghabiskan
sebagian besar hidupnya, pria yang menjadi sahabat karibnya, belahan
jiwanya yang sejati, dan yang selalu memberikan penghiburan baginya. Dia
meraih tangan suaminya dan mendekapkan tubuh Pak Straus yang gemetar ke
dadanya.
"Tidak," kata Bu Straus dengan gagah, seperti kemudian diceritakan orang.
"Aku tidak akan naik sekoci. Kita sudah bersama-sama selama
bertahun-tahun. Kita sudah tua sekarang. Aku tidak akan meninggalkanmu. Ke
mana pun engkau pergi, aku ikut."
Dan begitulah mereka terlihat untuk terakhir kalinya, berdiri berpelukan
di geladak: wanita yang penuh pengabdian itu dengan mantap berlindung
dalam pelukan suaminya, sementara suaminya dengan penuh cinta memeluk dan
melindunginya. Perlahan-lahan kapal tenggelam semakin dalam. Selalu
bersama... untuk selamanya....
satu kisah
Dalam Satu Kisah
Aku merasakan hingga tak bisa percaya, kala memegang tanganmu dan mengarahkan tarian dalam alunan musik indah sesuatu yang ada di matamu memberikan makna beda mengartikan kesedihan dan keluarlah dari nafasmu dengan kalimat selamat tinggal.
Kini tak pernah lagi aku untuk menari, tiap langkah kaki sudah tidak mampu mengikuti irama lagu. Kaku, tak mampu berdiri, tak dapat melangkah, tak seperti kemarin saat kita masih bersama.
Malam ini musik terdengar begitu nyaring, begitu merdu, menenangkan jiwa, aku ingin bisa mencoba hilangkan kesedihan yang terus berkerumun didada. Barangkali ini adalah cara untuk dapat membesarkan hati,… tapi sumpah!! Tidak akan secepat itu. Mungkin aku butuh waktu untuk bisa melupakan semuanya, berbulan-bulan atau bertahun-tahunkah? Atau kan kubawa sampai mati?
Siapa kamu sebenarnya? Telah begitu beri pengaruh dalam hidupku? Sekejap hilang dan memberikan bekas yang dalam... sungguh hebat kubilang dengan raut muka yang sinis, hingga hampir kumerasa gila... dan memukul dinding kamarku. Ada apa?
Saatnya ku berdo’a tak sekedar memohon tapi meminta dengan seluruh jiwa, kemudian kan kucoba lagi tuk melupakan.. dan lagi melupakan... lupakan.. lupakan... dan.... lupakan!!
Hingga akhirnya kuterlelap tanpa mimpi-mimpi yang teringat, dan apakah yang terjadi sampai fajar menampakkan dirinya?? Bersambung...
Aku merasakan hingga tak bisa percaya, kala memegang tanganmu dan mengarahkan tarian dalam alunan musik indah sesuatu yang ada di matamu memberikan makna beda mengartikan kesedihan dan keluarlah dari nafasmu dengan kalimat selamat tinggal.
Kini tak pernah lagi aku untuk menari, tiap langkah kaki sudah tidak mampu mengikuti irama lagu. Kaku, tak mampu berdiri, tak dapat melangkah, tak seperti kemarin saat kita masih bersama.
Malam ini musik terdengar begitu nyaring, begitu merdu, menenangkan jiwa, aku ingin bisa mencoba hilangkan kesedihan yang terus berkerumun didada. Barangkali ini adalah cara untuk dapat membesarkan hati,… tapi sumpah!! Tidak akan secepat itu. Mungkin aku butuh waktu untuk bisa melupakan semuanya, berbulan-bulan atau bertahun-tahunkah? Atau kan kubawa sampai mati?
Siapa kamu sebenarnya? Telah begitu beri pengaruh dalam hidupku? Sekejap hilang dan memberikan bekas yang dalam... sungguh hebat kubilang dengan raut muka yang sinis, hingga hampir kumerasa gila... dan memukul dinding kamarku. Ada apa?
Saatnya ku berdo’a tak sekedar memohon tapi meminta dengan seluruh jiwa, kemudian kan kucoba lagi tuk melupakan.. dan lagi melupakan... lupakan.. lupakan... dan.... lupakan!!
Hingga akhirnya kuterlelap tanpa mimpi-mimpi yang teringat, dan apakah yang terjadi sampai fajar menampakkan dirinya?? Bersambung...
Langganan:
Postingan (Atom)