Sabtu, 03 Juli 2010

Do You Know...??

Tahukah kamu kalau orang yang kelihatan begitu tegar hatinya, adalah orang yang sangat lemah dan butuh pertolongan..

Tahukah kamu kalau orang yang menghabiskan waktunya untuk melindungi orang lain, adalah justru orang yang sangat butuh seseorang untuk melindunginya..

Tahukah kamu kalau tiga hal yang paling sulit untuk diungkapkan adalah aku cinta kamu, maaf dan tolong aku..

Tahukah kamu kalau orang yang suka berpakaian warna merah lebih yakin kepada dirinya sendiri..

Tahukah kamu kalau orang yang suka berpakaian kuning adalah orang yang menikmati kecantikannya sendiri..

Tahukah kamu kalau orang yang suka berpakaian hitam adalah orang yang ingin tidak diperhatikan dan butuh bantuan dan pengertianmu.. pertolongan tersebut dikembalikan dua kali lipat..

Tahukah kamu bahwa lebih mudah mengatakan perasaanmu dalam tulisan dibandingkan mengatakan kepada seseorang secara langsung.. tapi tahukah kamu bahwa hal tsb akan lebih bernilai saat kamu mengatakannya dihadapan orang tsb..

Tahukah kamu kalau kamu memohon sesuatu dengan keyakinan, keinginan tsb akan dikabulkan..

Tahukah kamu bahwa kamu bisa mewujudkan impian, jika kamu memintanya dengan keyakinan, dan jika kamu benar2 tahu, kamu akan terkejut dengan apa yang bisa kamu lakukan...

Tapi jangan percaya semua yang saya katakan, sebelum kamu mencobanya sendiri.
Jika kamu tahu seseorang yang benar2 butuh sesuatu dan kamu tahu kamu bisa menolongnya, kamu akan melihat bahwa pertolongan tsb akan dikembalikan dua kali lipat!!

Jumat, 02 Juli 2010

Ikan atau Kail??

"Duh, kok kemaraunya gak berhenti-berhenti yah”, keluh Kaka si kancil.

“Iya nih”, jawab Kuri si kura-kura lirih, “kalau begini terus dua tiga hari lagi persediaan makanan kita bakal habis.”

Kaka dan Kuri memang tinggal bersama. Mereka membuat rumah yang cukup nyaman di dalam sebuah gua kecil. Di sekitar gua sejatinya banyak ditumbuhi tanaman-tanaman yang menjadi pengisi perut mereka sehari-hari. Namun sayangnya, sejak beberapa minggu terakhir ini, panas yang berkepanjangan melanda, sehingga sedikit demi sedikit tanaman yang ada mati kekeringan.

“Coba kita bisa memancing seperti pak Beri Beruang”, lanjut Kuri, “pastinya kita tidak perlu pusing seperti ini.”

BRAKKKK!!!!

Kaka tiba-tiba meloncat dari kursinya hingga tidak sengaja menjatuhkan kursi tersebut.

“Aku ada ide!”, teriak Kaka dengan semangat ‘45.

“Ada ide ya ada ide”, gerutu Kuri yang sempat jantungan gara-gara ulah Kaka tadi, “tapi jangan bikin aku mati muda dong.”

“Dengar dulu”, potong Kaka sebelum Kuri melanjutkan omelannya. “Bagaimana kalau kita minta ikan ke pak Beri? Kan seringkali dia dapat ikan banyak, yang lebih dari jatah makan perut gendutnya. Pasti bakal diberi deh.”

“Memangnya kita akan minta-minta ikan terus ke dia? Lama-lama juga pasti pak Beri gak akan mau memberi ikan ke kita.”, jawab Kuri sambil membetulkan kursi yang tadi terjatuh. Lanjutnya, “Lebih baik kita minta diajari cara memancing ikan saja.”

“Ah, tahu sendiri kan pak Beri seperti apa sifatnya”, tukas Kaka. “Galak. Bicaranya keras, tapi susah dicerna maksudnya. Mendingan minta langsung aja. Lagipula aku malas kalau harus belajar segala.”

Kaka melangkah mendekati jendela. Matanya berbinar-binar nakal.

“Nanti aku akan cari alasan yang berbeda setiap harinya agar pak Beri mau memberikan ikan kepadaku.”, katanya. “Gimana Kur, setuju tidak?”

Kuri termenung. Di satu sisi, ia membayangkan nikmatnya duduk santai di tepi jalan setapak ke sungai sambil menunggu pak Beri lewat membawa hasil pancingannya. Ia kenal Kaka sejak lama. Kawannya yang cerdas ini pasti dapat menemukan cara untuk membuat satu dua ikan pak Beri berpindah tangan.

Di sisi lain, ia tidak ingin hanya berpangku tangan dan bergantung kepada binatang lain. Ia juga ingin dapat memancing ikan sendiri sehingga tidak kebingungan apabila suatu saat kemarau datang lagi.

“Hei, kok malah melamun”, ujar Kaka sambil mendorong pelan tempurung Kuri.

“Aku tidak ikutan deh”, jawab Kuri.

“Loh kok…”

“Iya, aku ingin coba memancing saja. Pasti terasa lebih lezat kalau ikannya hasil pancinganku sendiri”.

Mata Kaka tercenung. Ia menatap tajam ke arah Kuri. Beberapa detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak.

“HAHAHAHAH!!! Kamu bercanda kan? Memangnya kamu mau belajar darimana? Pak Beri? Bisa tambah lapar kalau kamu kelamaan ngobrol dengan dia!”, kata Kaka lantang. “Lagipula”, lanjutnya, “semua binatang di hutan ini kan tahu kalau kamu itu lambat berpikirnya.”

Kuri tersenyum mendengar sindiran Kaka.

“Biar saja”, jawabnya. Pede. “Aku yakin kalau aku berusaha pasti aku akan bisa”.

Begitulah. Keesokan harinya, Kuri mulai mengikuti dan mengamati pak Beri yang sedang memancing. Ia kemudian mencoba untuk membuat tongkat pancingnya sendiri dan menanyakan kepada pak Beri, apakah kailnya sudah benar atau belum. Dengan tekun ia berusaha memahami apa maksud perkataan pak Beri hingga akhirnya ia berhasil membuat tongkat pancing yang kuat dan kokoh.

Si kancil? Sesuai rencananya, Kaka menunggu di ujung jalan hingga pak Beri lewat dan mengiba-iba kepadanya untuk meminta seekor ikan hasil tangkapannya. Dasar cerdik, pak Beri pun tidak kuasa menolak permintaannya.

“Lihat nih,” ujar Kaka pada Kuri sesampainya di rumah, “ikan pemberian pak Beri. Besar bukan? Pasti lezat jika dibumbu rujak dan dimakan dengan sambal mangga. Mana ikanmu?”

Kuri menunjukkan kail buatannya dengan bangga.

“Nih”, katanya sambil tersenyum. “Hari ini aku memang belum bisa membawa ikan, tapi aku sudah bisa membuat tongkat pancingku sendiri.”

“Terserahlah,” tukas Kaka. “Kok mau-maunya sih repot begitu.”

Hari demi hari berlalu. Kuri terus berusaha untuk belajar tehnik memancing ikan dari pak Beri. Mulai dari memilih umpan, mencari tempat yang banyak ikannya, hingga cara menarik ikan agar tidak terlepas dari kaitannya. Kaka pun melalui hari-harinya dengan seribu satu alasan untuk dapat menaklukkan hati pak Beri.

Lama kelamaan, pak Beri pun jenuh. Ia tidak mau lagi memberikan ikannya kepada Kaka meskipun Kaka sudah memohon sambil berguling-guling di tanah. Sebaliknya, Kuri semakin ahli dalam memancing dan sudah dapat menangkap ikan sendiri. Melihat Kaka yang menangis tersedu-sedu karena tidak mendapatkan makanan hari itu, Kuri pun membagikan ikan hasil tangkapannya pada Kaka.

“Tuh kan, benar yang aku bilang”, kata Kuri bijak. “Lebih baik kita berusaha sendiri daripada selalu bergantung kepada orang lain. Meskipun kelihatannya susah, jika terus mencoba, pasti kita akan bisa.”

Kaka mengangguk perlahan. Kali ini dia setuju dengan pendapat Kuri.

Real Mother Hand...

Tahun yang lalu, ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru. Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, meskipun itu ibu saya. Saya bukanlah orang yang sabar. Tapi, kami putuskan juga berangkat ke pusat perbelanjaan tersebut. Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita. Dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah, gelisah, dan ibu mulai frustasi.
Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu mencoba satu stel gaun biru yang cantik, terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya. Dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian. Biar semuanya cepat beres. Saya melih at bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya.

Ternyata, Tuhan…, tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi. Dan ibu dia tidak dapat menalikan gaun itu. Seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang begitu dalam kepadanya. Dada saya sesak, napas aya panas. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari. Saya terisak.

Setelah mendapatkan ketenangan, saya kembali masuk ke kamar ganti, dan menahan tangis melihat gemetar tangan ibu, membantunya mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah, dan ibu membelinya. Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut, dan ter bayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Tangan yang gemetar….

Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya. Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya…. Dan yang membuatnya terkejut. Saya mengatakan pada ibu, kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini. Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata baru, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu. Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri, keindahan tangan Ibu….

Zenkai, putera seorang samurai, melakukan perjalanan ke Edo dan di sana menjadi pelayan seorang pejabat tinggi. Ia jatuh cinta dengan isteri pejabat itu dan ketahuan. Sebagai usaha perlindungan diri, ia membunuh pejabat itu. Kemudian, ia melarikan diri dengan isteri pejabat itu.

Keduanya kemudian menjadi pencuri. Akan tetapi, wanita ini sedemikian rakusnya sehingga Zenkai menjadi jijik melihatnya. Akhirnya, ia meninggalkan wanita itu, melakukan perjalanan jauh ke propinsi Buzen, di sanalah ia menjadi seorang pengemis yang berkelana.

Untuk menghapuskan kesalahan masa lampaunya, Zenkai bertekad untuk melakukan beberapa kebajikan selama hidupnya. Karena tahu bahwa ada sebuah jalan yang berbahaya di sebuah tebing yang telah mengakibatkan kematian dan kecelakaan bagi banyak orang, ia memutuskan untuk menggali sebuah terowongan menembusi gunung di sana.

Siang hari mengemis makanan, pada malam harinya Zenkai bekerja menggali terowongan. Setelah tiga puluh tahun berlalu, terowongan yang berhasil digalinya itu telah mencapai sepanjang 2280 kaki, dengan tinggi 20 kaki, dan lebamya 30 kaki.

Dua tahun sebelum tugas ini diselesaikan, putera dari pejabat yang telah dibunuhnya, yang merupakan seorang serdadu yang trampil, menemukan Zenkai dan datang untuk membunuhnya sebagai pembalasan dendam.

“Saya akan memberikan kepada anda nyawa saya secara rela,” kata Zenkai, “Biarkanlah saya menyelesaikan pekerjaan ini terlebih dahulu. Pada saat terowongan ini telah selesai, kamu boleh membunuhku.”

Dengan demikian, serdadu itu menunggu waktu. Beberapa bulan berlalu dan Zenkai masih saja tetap menggali. Anak muda tersebut menjadi bosan menunggu dan mulai membantu menggali. Setelah membantu selama lebih dari satu tahun, ia menjadi kagum atas tekad kuat dan karakter Zenkai.

Akhirnya terowongan itu pun jadi dan orang-orang bisa menggunakannya serta berjalan melaluinya dengan aman.

“Sekarang penggallah kepala saya,” kata Zenkai, “Pekerjaan saya telah tuntas.”

“Bagaimana bisa saya memenggal kepala guru saya sendiri?” tanya anak muda itu dengan tetes air mata di matanya.